Kamis, 22 April 2010

^Hari Ketika Kamu Pergi^_ bab1 _

"Tinggalin mereka, oke?" kata Faris tajam menatapku. Aku balas menatapnya. Pedih. Air mataku belum kering.
" Nggak bisa Ris! Kamu tau sendiri kan? Mereka sahabat-sahabatku?" sebenarnya ini bukan pertanyaan. Ini pernyataan. Kuharap dia tahu, betapa aku menyayangi sahabatku, Diva, Fia dan Lisa.
"jadi keputusanmu gimana coba?" Dia duduk disampingku. Aku benci pertanyaan ini, karena tak dapat ku pungkiri aku memang nggak jago sama sekali dalam mengambil keputusan.
"jawab dong!" Sahutnya putus apa.
"Aku nggak tahu Ris! Mereka udah nyakitin aku! Tapi kalo kamu nyuruh aku ninggalin mereka, jujur aku nggak bisa. Aku ngerasa mereka itu benar-benar sahabatku!"
"siapa yang nyuruh? Tadi kan kamu tanya pendapatku, jadi aku jawab sebaiknya kamu ninggalin mereka. Yah, aku nggak ngerti sih jalan pikiran cewek, habisnya aku kan cowok. Tapi, walaupun aku cowok, aku ngerti kok kalo nangis itu nggak enak!" Faris meringis.
Aku tersenyum lemah.
Humor garing!"jadi gimana dong?" rengekku.
"ye. . . Nih anak tanya lagi" Faris memukul pelan pundakku "ntar ku jawab Tinggalin mereka, disalahin!" Faris menggerutu. Kini giliran aku yang meringis.
"yah. . . Sori deh! Jawabku manja "tapi kamu kan cowok, yah. . . Sejauh yang ku tau nih, pemikiran cowok kan bisa lebih realistis dari pemikiran cewek"
"oh yah?" cibirnya

Ingatan tentang Faris lagi. Ingatan tentang dia lagi. Sudah berapa kali aku mencoba untuk melupakannya Tuhan? Tapi aku nggak bisa.
"dia sudah mati Na! Dia sudah mati" teriak Diva untuk kesekian kalinya saat aku bilang aku melihat Faris dua hari yang lalu di halaman SMAku.
"Tapi itu beneran dia! Itu Faris Div!" Ratapku saat itu.
"oh, ayolah Na, kita semua tahu dia udah nggak ada! Coba dong kamu ngertiin dia? Biarin deh dia tenang disana."
"tapi yang aku lihat itu beneran Faris!"
"Na!" bentak Fia "oke Saina, siapapun yang kamu lihat kemarin itu bukan Faris, oke?"
"Nggak!" aku memandang mereka bertiga "kenapa sih kalian nggak pernah percaya sama aku?"
Lisa mendekatiku "Nggak gitu Na, kami cuma takut. . ."
"Takut?" tanyaku. Lisa hampir menjawab tapi kemudiaan
"udahlah Lis!" Fia menengahi. Dia memandangku "lagian kamu masih punya kita bertiga kan? Biarin Faris pergi toh kamu masih punya kita bertiga. Kita bisa jadi sahabat kayak dulu lagi. Dan okelah, lupain Faris. Biarin dia tenang"
Aku memandang Fia nggak percaya. Tapi, bahkan mereka tak menangkap pandanganku itu. Mereka malah tersenyum seolah nggak ada apa-apa. Tersenyum setelah apa yang Fia katakan?
"Aku nggak percaya kamu ngomong kayak gitu" teriakku. Senyum mereka bertiga menghilang. "bisa-bisanya kalian kayak gitu? Bisa-bisanya kamu mikir kayak gitu?" Aku menatap Fia "lupain Faris?" kutirukan ucapan Fia "nggak segampang itu tahu!" bentakku.

"habis gimana dong Na! Dia udah mati Na! Dan kamu nggak harus terpuruk dalam kehilangan layak gini dong! Kamu masih hidup dan kamu juga masih punya banyak teman yang masih hidup untuk menemanimu" Lisa yang bicara.
"teman?"aku menatapnya
*bersambung. . .